Sejarah Kerajaan Sunda: Kehidupan Politik, Ekonomi, & Sosial-Budaya
Kerajaan Sunda Berita wacana kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Barat sesudah kerajaan Tarumanegara terdapat dalam naskah Carita Parahyangan, sebuah sumber berbahasa Sunda Kuno yang ditulis sekitar kala ke-19. Kerajaan Sunda yang berada di Jawa Barat dan Jawa Tengah cuilan barat merupakan kerajaan yang bercorak Hindu cukup besar lengan berkuasa dan sedikit mendapatkan imbas Buddha.
Nah, pada kesempatan kali ini akan menghadirkan sebuah klarifikasi mengenai kehidupan politik, ekonomi, dan sosial-budaya pada masa Kerajaan Sunda. Semoga bermanfaat. Check this out!!!
A. Kehidupan Politik
Akibat sumber-sumber sejarah yang sangat terbatas, aspek kehidupan politik wacana Kerajaan Sunda/Pajajaran hanya sedikit saja yang diketahui. Aspek kehidupan politik yang diketahui terbatas pada perpindahan pusat pemerintahan dan pergantian takhta raja. Secara berurutan pusat-pusat kerajaan itu ialah Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran.
1. Kerajaan Galuh
Sejarah di Jawa Barat sesudah Tarumanegara tidak banyak diketahui. Kegelapan itu sedikit tersingkap oleh Prasasti Canggal yang ditemukan di Gunung Wukir, Jawa Tengah berangka tahun 732 M. Prasasti Canggal dibentuk oleh Sanjaya sebagai tanda kebesaran dan kemenangannya. Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sanjaya ialah anak Sanaha, saudara perempuan Raja Sanna. Dalam kitab Carita Parahyangan juga disebutkan nama Sanjaya. Menurut versi kitab Carita Parahyangan, Sanjaya ialah anak Raja Sena yang berkuasa di Kerajaan Galuh.
Sena ialah anak Mandiminyak dari hasil relasi gelap dengan Pwah Rababu, istri Rahyang Sempakwaja yang merupakan abang sulung Mandiminyak, sebagai Raja Galuh. Diduga alasannya ialah raja tidak mempunyai putra mahkota, sesudah Mandiminyak mangkat, Sena diangkat menjadi raja. Raja Sena berkuasa selama tujuh tahun. Suatu dikala Raja Sena diserang oleh Rahyang Purbasora (saudara seibu) dan mengalami kekalahan. Akibatnya, Raja Sena diasingkan ke Gunung Merapi beserta keluarganya. Di sinilah anaknya lahir dan diberi nama Sanjaya. Setelah dewasa, Sanjaya mencari kontribusi kepada saudara renta ayahnya di Denuh. Akhirnya, Sanjaya berhasil mengalahkan Purbasora, kemudian naik takhta di Kerajaan Galuh.
Menurut naskah Kropak 406, Sanjaya disebut sebagai Harisdarma yang menjadi menantu Raja Tarusbawa (Tohaan di Sunda). Sanjaya kemudian diangkat menjadi raja menggantikan Tarusbawa. Di Jawa Barat, selain Kerajaan Galuh masih ada pusat kerajaan lain, yaitu Kerajaan Kuningan yang diperintah oleh Sang Sowokarma. Agama yang berkembang pada masa Kerajaan Galuh ialah Hindu Syiwa. Hal itu dinyatakan dengan terang pada Prasasti Canggal. Raja Galuh juga menganut Sewabakti ring Batara Upati (upati = utpata = nama lain dari Dewa Yama yang identik dengan Syiwa).
2. Pusat Kerajaan Prahajyan Sunda
Nama Sunda muncul lagi pada Prasasti Sahyang Tapak yang ditemukan di Pancalikan dan Bantarmuncang kawasan Cibadak, Sukabumi. Prasasti itu berangka tahun 952 Saka (1030 M), berbahasa Jawa Kuno dengan abjad Kawi. Nama tokoh yang disebut ialah Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabhuwanaman-daleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, sedangkan kawasan kekuasaannya disebut Prahajyan Sunda.
Prasasti Sanghyang Tapak, antara lain menyebutkan bahwa pada tahun 1030 Jayabhupati menciptakan kawasan larangan di sebelah timur Sanghyang Tapak. Daerah larangan itu berupa sebagian sungai yang siapa pun dihentikan mandi dan menangkap ikan di dalamnya. Siapa pun yang melanggar larangan akan terkena kutukan yang mengerikan, contohnya akan terbelah kepalanya, terminum darahnya, atau terpotong-potong ususnya.
Berdasarkan gelarnya yang mengatakan persamaan dengan gelar Airlangga di Jawa Timur dan masa pemerintahannya pun bersamaan, ada dugaan bahwa di antara kedua kerajaan tersebut ada relasi atau pengaruh. Akan tetapi, Jayabhupati berulang kali menyatakan bahwa dirinya ialah haji ri Sunda (raja di Sunda). Jadi, Jayabhupati bukan raja bawahan Airlangga. Sementara itu, perihal kutukan bukanlah sesuatu yang biasa terdapat pada prasasti yang berbahasa Sunda sehingga kemungkinan Jayabhupati bukan orang Sunda asli.
Agama yang dianut Sri Jayabhupati ialah Hindu Waisnawa. Ini ditunjukkan oleh gelarnya (Wisnumurti). Gelar ini ternyata sama pula dengan agama yang dianut Raja Airlangga. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa agama resmi yang dianut penduduk Jawa pada awal kala ke-11 ialah Hindu Waisnawa.
3. Pusat Kerajaan Kawali
Pada zaman pemerintahan siapa pusat Kerajaan Sunda mulai berada di Kawali tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi, berdasarkan prasasti di Astanagede (Kawali), diketahui bahwa setidak-tidaknya pada masa pemerintahan Rahyang Niskala Wastu Kancana pusat kerajaan sudah berada di situ. Istananya berjulukan Surawisesa. Raja telah menciptakan selokan di sekeliling keraton dan mendirikan perkampungan untuk rakyatnya.
Menurut kitab Pararaton, pada tahun 1357 Masehi terjadi kejadian Pasundan–Bubat atau Perang Bubat, yaitu peperangan antara Sunda dan Majapahit. Pada masa itu Sunda diperintah oleh Prabu Sri Baduga Maharaja (ayah Wastu Kancana) dan Majapahit diperintah oleh Raja Hayam Wuruk. Pada pertempuran itu Prabu Maharaja gugur. Ketika Perang Bubat terjadi, Wastu Kancana masih kecil sehingga pemerintahannya untuk sementara diserahkan kepada pengasuhnya, yaitu Hyang Bunisora. Ia menjalankan pemerintahan selama 14 tahun (1357–1371).
Wastu Kancana sesudah terpelajar balig cukup akal mendapatkan kembali tampuk pemerintahan dari Hyang Bunisora. Wastu Kancana memerintah cukup usang (1371–1471) alasannya ialah masyarakat mendukungnya. Wastu Kancana didukung masyarakat alasannya ialah selalu menjalankan agama dengan baik dan sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Setelah mangkat, Raja Wastu Kancana dimakamkan di Nusalarang.
Penggantinya ialah putranya sendiri, Tohaan di Galuh atau Rahyang Ningrat Kancana. Raja Rahyang Ningrat Kancana memerintah hanya tujuh tahun (1471–1478). Pemerintahan Raja Rahyang Ningrat Kancana berakhir alasannya ialah salah tindak, yaitu menyayangi perempuan terlarang dari luar. Setelah mangkat, raja itu dimakamkan di Gunung Tiga.
4. Pusat Kerajaan Pakwan Pajajaran
Setelah Raja Rahyang Ningrat Kancana jatuh, takhtanya digantikan oleh putranya, Sang Ratu Jayadewata. Pada Prasasti Kebantenan, Jayadewata disebut sebagai yang sekarang menjadi Susuhunan di Pakwan Pajajaran. Pada Prasasti Batutulis Sang Jayadewata disebut dengan nama Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Sejak pemerintahan Sri Baduga Maharaja, pusat kerajaan beralih dari Kawali ke Pakwan Pajajaran yang dalam kitab Carita Parahyangan disebut Sri Bima Unta Rayana Madura Suradipati. Menurut kitab Carita Parahyangan, raja menjalankan pemerintahan berdasarkan kitab aturan yang berlaku sehingga terciptalah keadaan kondusif dan tenteram, tidak terjadi kerusuhan atau perang.
Pada masa itu, penduduk Kerajaan Sunda sudah ada yang memeluk agama Islam. Hal ini diketahui dari gosip Portugis yang berasal dari Tome Pires (1513) yang menyebutkan bahwa di Cimanuk telah banyak dijumpai orang yang menganut agama Islam. Sang Ratu Jayadewata sudah memperhitungkan meluasnya imbas Islam di wilayah Kerajaan Sunda. Untuk membendungnya, baginda menjalin relasi dengan Portugis di Malaka. Dalam rangka menjalin relasi tersebut, diutuslah Ratu Samiam dari Sunda ke Malaka pada tahun 1512 – 1521. Ketika Hendrik de Heme memimpin perutusannya ke Sunda pada tahun 1522, Ratu Samiam sudah berkuasa sebagai raja dan disebut Prabu Surawisesa. Rupanya, dialah yang menggantikan Raja Jayadewata. Ratu Samiam memerintah selama 14 tahun (1521 – 1535). Setelah itu, Ratu Samiam digantikan oleh Prabu Ratudewata yang memerintah tahun 1535 – 1543. Pada masa itu, sering terjadi serangan terhadap Kerajaan Sunda, antara lain, dari kelompok Islam yang dipimpin oleh Maulana Hasanuddin dan Maulana Yusuf dari Kerajaan Banten. Keterangan ini tidak bertentangan dengan naskah Purwaka Caruban Nagari yang bertalian dengan sejarah Cirebon.
Jatuhnya Sunda Kelapa, pelabuhan terbesar Kerajaan Sunda ke tangan pasukan Islam pada tahun 1527 mengakibatkan terputusnya relasi antara Portugis dan Kerajaan Sunda. Keadaan itu ikut melemahkan pertahanan Sunda sehingga satu demi satu pantainya jatuh ke tangan musuh. Keadaan makin jelek alasannya ialah Prabu Ratudewanata lebih berkonsentrasi sebagai pendeta dan kurang memperhatikan kesejahteraan rakyat. Adapun penggantinya, Sang Ratu Saksi yang memerintah tahun 1443–1551 ialah raja yang kejam dan gemar “main wanita”. Demikian pula penggantinya, Tohaan di Majaya yang memerintah tahun 1551–1567, suka memperindah istana, berfoya-foya, dan mabuk-mabukan. Oleh alasannya ialah itu, pada masa pemerintahan Raja Nuisya Mulya Kerajaan Sunda sudah mustahil dipertahankan lagi dan kesudahannya jatuh ke tangan orang-orang Islam. Sejak tahun 1579 tamatlah riwayat Kerajaan Sunda di Jawa Barat.
Wilayah Kekuasan Kerajaan Sunda |
B. Kehidupan Ekonomi
Pada masa kekuasaan raja-raja Sunda, kehidupan sosial ekonomi masyarakat cukup mendapatkan perhatian. Meskipun pusat kekuasan Kerajaan Sunda berada di pedalaman, namun relasi dagang dengan kawasan atau bangsa lain berjalan baik. Kerajaan Sunda mempunyai pelabuhanpelabuhan penting, menyerupai Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda kelapa, dan Cimanuk. Di kota-kota pelabuhan tersebut diperdagangkan lada, beras, sayur-sayuran, buah-buahan, dan binatang piaraan.
Di samping aktivitas perdagangan, pertanian merupakan aktivitas lebih banyak didominasi rakyat Sunda. Berdasarkan kitab Carita Parahyangan sanggup diketahui bahwa kehidupan ekonomi masyarakat Kerajaan Sunda umumnya bertani, khususnya berladang (berhuma). Misalnya, pahuma (paladang), panggerek (pemburu), dan penyadap. Ketiganya merupakan jenis pekerjaan di ladang. Aktivitas berladang mempunyai ciri kehidupan selalu berpindahpindah. Hal ini menjadi salah satu cuilan dari tradisi sosial Kerajaan Sunda yang dibuktikan dengan sering pindahnya pusat Kerajaan Sunda.
C. Kehidupan Sosial-Budaya
Berdasarkan kitab Sanghyang Siksakandang Karesian, kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Sunda sanggup dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain sebagai berikut.
- Kelompok Rohani dan CendekiawanKelompok rohani dan cendekiawan ialah kelompok masyarakat yang mempunyai kemampuan di bidang tertentu. Misalnya, brahmana yang mengetahui banyak sekali macam mantra, pratanda yang mengetahui banyak sekali macam tingkat dan kehidupan keagamaan, dan janggan yang mengetahui banyak sekali macam pemujaan, memen yang mengetahui banyak sekali macam cerita, paraguna mengetahui banyak sekali macam lagu atau nyanyian, dan prepatun yang mempunyai banyak sekali macam kisah pantun.
- Kelompok Aparat PemerintahKelompok masyarakat sebagai alat pemerintah (negara), contohnya bhayangkara (bertugas menjaga keamanan), prajurit (tentara), hulu jurit (kepala prajurit).
- Kelompok EkonomiKelompok ekonomi ialah orang-orang yang melaksanakan aktivitas ekonomi. Misalnya, juru lukis (pelukis), pande mas (perajin emas), pande dang (pembuat perabot rumah tangga), pesawah (petani), dan palika (nelayan).
Kehidupan masyarakat Kerajaan Sunda ialah peladang, sehingga sering berpindah-pindah. Oleh alasannya ialah itu, Kerajaan Sunda tidak banyak meninggalkan bangunan yang permanen, menyerupai keraton, candi atau prasasti. Candi yang paling dikenal dari Kerajaan Sunda ialah Candi Cangkuang yang berada di Leles, Garut, Jawa Barat.
Hasil budaya masyarakat Kerajaan Sunda yang lain berupa karya sastra, baik tulis maupun lisan. Bentuk sastra tulis, contohnya Carita Parahyangan; sedangkan bentuk satra mulut berupa pantun, menyerupai Haturwangi dan Siliwangi.
BACA JUGA:
BACA JUGA:
Terima kasih sudah berkenan berkunjung dan membaca artikel di atas wacana Sejarah Kerajaan Sunda, semoga bisa menambah wawasan sahabat sekalian wacana sejarah Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia. Apabila ada suatu kesalahan dari klarifikasi di atas, baik berupa penulisan maupun isi, mohon kiranya kritik dan saran yang membangun untuk kemajuan bersama. Jangan lupa like dan share juga ya sobat. ^^ Maju Terus Pendidikan Indonesia ^^
Sumber http://www.zonasiswa.com